A.
PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang materi dan pembelajaran Hak
Asasi Manusia (HAM) serta Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam mata pelajaran
PKn sebagai salah satu Mata Kuliah Dasar Umum yang perlu dikenalkan kepada
semua mahasiswa.
Dalam bab ini pembaca khususnya mahasiswa diajak mengenal,
memahami dan menganalisis pengertian, karakteristik serta berbagai permasalahan
yang berkaitan dengan konsep serta pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) serta
Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi
dalam bab ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.
Dapat
memahami materi tentang HAM.
2.
Dapat
memahamai materi Hak dan Kewajiban Warga Negara.
3.
Dapat
memahami dan menjelaskan pelaksanaan HAM di Indonesia.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak
dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul,
serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar
hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip
persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak
ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia. Oleh
karena masalah Hak Asasi Manusia telah merambah di dalam kehidupan masyarakat
dan merupakan persoalan bersama, maka masyarakat atau siswa, seyogyanya
dikenalkan pada masalah HAM, agar mereka mengetahui dan menyadari akan hak dan
kewajiban asasi dirinya dan hak asasi orang lain sehingga mereka akan terbiasa
untuk menghormati diri dan hak-hak asasi orang lain.
B.
HAK ASASI
MANUSIA
1.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Pengertian HAM menurut beberapa para ahli diantaranya:
John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang
dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak
dapat diganggu gugat (bersifat mutlak).
Koentjoro Poerbapranoto (1976), Hak Asasi adalah hak-hak
yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnya sehingga sifatnya suci.
Jack Donnely, hak asasi manusia adalah
hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan
hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai
manusia.
Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi
manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut UU
No 39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kerhormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, istilah “Hak” diartikan sebagai sesuatu yang benar,
kepemilikan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, atau kekuasaan yang benar atas
sesuatu. Sedangkan “asasi” berarti bersifat dasar, pokok atau fundamental.
Sehingga Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi
manusia secara kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup,hak
kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.
Pengakuan terhadap HAM memiliki dua landasan,sebagai berikut.
Landasan
yang langsung dan pertama, yakni kodrat manusia.kodrat manusia adalah sama
derajat dan martabatnya.semua manusia adalah sederajat tanpa membedakan
ras,agama,suku,bahasa,dan sebagainya.
Landasan
yang kedua dan yang lebih dalam: Tuhan menciptakan manusia.Semua manusia adalah
makhluk dari pencipta yang sama yaitu tuhan yang maha esa.Karena itu di hadapan
tuhan manusia adalah sama kecuali nanti pada amalnya.
2. Jenis-jenis
HAM
a. Hak asasi pribadi
/ Personal Right
Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah
tempat
Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau
perkumpulan
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama
dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
b. Hak asasi politik
/ Political Right
Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan
organisasi politik lainnya
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
c. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
d. Hak azasi Ekonomi
/ Property Rigths
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang,
dll
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
e. Hak Asasi
Peradilan / Procedural Rights
Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,
penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
f. Hak asasi sosial
budaya / Sosial Culture Right
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
Hak mendapatkan pengajaran
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan
minat
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN HAM
Untuk
mengukuhkan jaminan perlindungan hak asasi manusia, pada tanggal 10 Desember
1948, melalui Sidang Umum di Caillot. Paris telah dikeluarkan Deklarasi Umum
Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Usaha
bangsa-bangsa di dunia dalam melindungi hak asasi manusia secara universal
memakan waktu yang sangat panjang. Usaha ini telah dimulai sejak sejumlah
perjanjian (traktat) dimasukkan ke dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1945. Namun usaha perlindungan hak asasi manusia yang dilakukan oleh
suatu negara telah dimulai jauh sebelum memasuki abad ke-20.
Sejak
abad ke-13 usaha perlindungan hak asasi manusia telah dimulai. Usaha
melindungi hak-hak asasi manusia telah ditempuh bangsa Inggris sejak 1215
dengan ditandatanganinya Magna
Charta oleh Raja John
Lackland. Piagam ini berisi beberapa hak yang diberikan Raja John kepada
beberapa bangsawan bawahannya dan kaum gerejani atas sejumlah tuntutan yang
diajukan mereka. Dengan demikian, piagam ini melindungi kaum bangsawan dan
gerejani dari kekuasaan Raja John yang amat luas.
Meskipun
masalah yang diatur terbatas pada perlindungan hak kaum bangsawan dan gerejani,
namun piagam ini dianggap sebagai usaha pertama bangsa Inggris dalam melindungi
hak-hak asasi warganya.
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan penandatanganan Petition
of Rights pada 1628 yang
dilakukan Raja Charles I. Dibandingkan dengan Magna Charta, kandungan Petition
of Rights banyak mengalami kemajuan. Bila penandatanganan Magna Charta
dilatarbelakangi oleh sejumlah tuntutan yang diajukan kaum bangsawan dan
gerejani, maka kelahiran Petition of Rights dilatarbelakangi oleh munculnya
sejumlah tuntutan rakyat yang diwakili oleh Parlemen (House of Common).
Perlawanan
rakyat Inggris terhadap Raja James II (1688) yang lebih dikenal sebagai
Revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution), telah mendorong penandatanganan
Undang-undang Hak (Bill of Rights) oleh Raja Willem III pada tahun 1989.
Penandatanganan undang-undang tadi bukan saja menandai kemenangan Parlemen
Inggris atau Raja, tetapi juga sebagai bukti kesungguhan rakyat Inggris dalam
menegakkan hak-haknya di bawah kekuasaan raja yang telah diperjuangkannya
selama bertahun-tahun.
Apa
yang dilakukan rakyat Inggris pada hakikatnya merupakan usaha untuk membatasi
kekuasaan raja agar tidak sewenang-wenang. Mengapa rakyat Inggris menginginkan
agar kekuasaan raja dibatasi?
Jawabannya
dikemukakan oleh seorang Inggris yang menggeluti bidang sejarah, Lord Acton.
Menurut Lord Acton, manusia yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan
kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but
absolute power corrupts absolutely).
Dalil
yang dikemukakan Lord Acton telah mengilhami banyak bangsa di dunia
sekaligus menjadi ide dasar penegakkan ajaran demokrasi konstitusional.
Ajaran ini mengandung gagasan pokok bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi,
pembatasan mana biasanya dicantumkan dalam konstitusi.
Usaha
membatasi kekuasaan raja guna melindungi hak asasi manusia dilakukan pula
bangsa Perancis. Sebagaimana di Inggris, usaha perlindungan hak asasi di
Prancis lahir dari revolusi yang bertujuan menghancurkan sistem pemerintahan
absolut dan menggantinya dengan tatanan pemerintahan baru yang demokratis.
Tujuan
Revolusi Perancis banyak dipengaruhi oleh filosof yang hidup pada masa itu.
Mereka adalah Thomas Hobbes, John Locke dan Montesquieu.
Thomas
Hobbes, dan John Locke adalah peletak dasar teori perjanjian masyarakat.
Perbedaannya bila teori perjanjian masyarakat yang dikembangkan Thomas Hobbes
melahirkan ajaran monarkhi absolut, maka teori perjanjian yang dikembangkan
John Locke melahirkan ajaran monarkhi konstitusional.
Menurut
Thomas Hobbes, manusia selalu berada dalam situasi hommo homini lupus bellum
omnium comtra omnes. Situasi ini mendorong dilakukannya perjanjian antara
masyarakat dan penguasa. Perjanjian tadi berisi penyerahan hak-hak rakyat
kepada penguasa. Oleh karena itu, ajaran Thomas Hobbes mengarah kepada
pembentukan monarkhi absolut.
Berbeda
dengan Hobbes, John Locke memandang bermasyarakat dan bernegara merupakan
kehendak manusia yang diwujudkan dalam dua bentuk perjanjian, yakni pactum unionis, perjanjian
antaranggota masyarakat untuk membentuk masyarakat politik dan negara, dan pactum subjectionis. Locke
memandang pactum subjectionis sebagai perjanjian antara rakyat dengan
penguasa untuk melindungi hak-hak rakyat yang tetap melekat ketika
berhadapan dengan kekuasaan sang penguasa. Oleh karena itu, menurut Locke tugas
negara adalah melindungi hak-hak individu, yakni hak hidup (life),
kebebasan (liberty), dan hak milik (estate). Jaminan perlindungan
hak-hak tadi dituangkan dalam konstitusi, sehingga ajaran Locke sering disebut
monarkhi konstitusional.
Selain
Hobbes dan Locke, filsuf Prancis Montesquieu sangat mempengaruhi perkembangan
perlindungan hak asasi di Prancis. Bersama-sama dengan Rousseau ia melahirkan
Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara pada tahun 1789. Deklarasi inilah yang
kemudian melahirkan hak atas kebebasan (Liberty),. Harta (Property),
Keamanan (Safety), dan perlawanan terhadap penindasan (Resistance to
Oppression).
Perkembangan
sejarah perlindungan hak asasi di Amerika Serikat memiliki kaitan dengan
pengalaman bangsa Inggris dan Perancis. Sumbangan pengalaman bangsa Inggris
dalam perkembangan perlindungan hak asasi di Amerika Serikat terlihat dari
pengaruh ajaran John Locke terhadap kandungan Declaration of Independence
Amerika Serikat yang disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru
yang pada tanggal 4 Juli 1776.
Seperti
halnya John Locke. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat mengakui bahwa manusia
dicipta Tuhan dengan harkat dan martabat yang sama, memiliki sejumlah hak yang
melekat secara kodrati. Hak-hak tersebut adalah hak hidup (life),
kebebasan (liberty), dan hak untuk mengejar kebahagiaan (pursuit of
happiness).
Perkembangan
usaha perlindungan hak asasi di Amerika Serikat memiliki kemiripan dengan
perkembangan yang dialami bangsa Prancis. Konsep kedaulatan negara berada di
tangan rakyat sebagaimana dianut Amerika dianut pula di Prancis. Kedua negara
pun memperjuangkan hak asasi melalui revolusi dan pada tahun yang sama kedua
negara mendatangi naskah masing-masing. Hal ini terjadi pada tahun 1789, dimana
di Prancis dikeluarkan pernyatan hak-hak manusia dan warga negara (Declaration
des droits de L homme et du citoyen), berupa naskah yang dicetuskan pada
awal Revolusi Prancis sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan lama yang
sewenang-wenang.
Pada
tahun yang sama di Amerika pun dikeluarkan undang-undang Hak (Bill of Rights).
Undang-undang ini akhirnya menjadi bagian dari undang-undang dasar Amerika pada
tahun 1791.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HAM DI
INDONESIA
Secara garis besar Prof. Bagir
Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia (2001),
membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu
periode sebelum Kemerdekaan (1908 – 1945), periode setelah Kemerdekaan (1945 –
sekarang).
I. Periode Sebelum Kemerdekaan
(1908 – 1945)
Boedi
Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan
adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi
yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat
kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Perhimpunan
Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
Sarekat
Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
Partai
Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih
condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang
berkenan dengan alat produksi.
Indische
Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
Partai
Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
Organisasi
Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk
mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan
berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam
penyelenggaraan Negara.Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi
perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM
yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan
kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak
untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak
untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
II.
Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak
untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di
parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah
memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu,
UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam
Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat
untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia
dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada
periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan
yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan
tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan
pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati
“bulan madu“ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada
lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan
beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar
demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai
pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil )
dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan
melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan
pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah
sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem
demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan
berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi
terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran
supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan
dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan
dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke
Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah
diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah
Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan
guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS
1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan
dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta
Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai
periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi
dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat
defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya
restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan
bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai
luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah
terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang
terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap
defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali
digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang
berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan
kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama
dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan
masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan
oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait
dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung
Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode
1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran
strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif
terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap
akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993
tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki
pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada
pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan
dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada
saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde
baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan
penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan
HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari
pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional
khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen
Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui
dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara
konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang –
undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang
Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan
pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
D.
PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA
Hak-hak asasi manusia
adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan
YME.hak-hak dasar tsb meliputi: “Hak-hak dalam lapangan politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan, dan yuridis”, dan “kebebasan-kebebasan dasar” yang meliputi
“kebebasan dalam lapangan kebebasan pribadi dan rohani”.
Hak-hak dalam kebebasan
dasar atau hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam pancasila yaitu :
1.
Hak
asasi manusia dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Setiap orang dijamin untuk
melakukan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Setiap agama
dipandang sama hak dan kedudukannya terhadap Negara.
2.
Hak
asasi manusia dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
Setiap orang berhak diperlakukan
secara pantas, tidak boleh disiksa dan dihukum secara sewenang-wenang, tidak
boleh dihina atau diperlakukan secara melampaui batas, ia berhak untuk dianggap
tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang.
Sila kemanusiaan ini berarti pula:
suatu pengakuan kemerdekaan bagi segala bangsa dengan menolak kolonialisme dan
imperialisme dan setiap bangsa berhak untuk menentukan bentuk dan corak
negaranya sendiri.
3.
Hak
asasi manusia dalam sila Persatuan Indonesia
Persatuan Indonesia atau kesadaran
kebangsaan Indonesia lahir dari keinginan untuk bersatu sebagai suatu bangsa,
lahir dari sikap yang mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan suku,
golongan, partai, dan lain-lain.
Kesadaran kebangsaan ini merupakan
tanda adanya keinginan untuk mempertahankan HAM, sebab tanpa adanya kesadaran
kebangsaan tidak ada jaminan bahwa HAM mendapat perlindungan.
Perasaan kebangsaan Indonesia
keluar bersifat persahabatan dengan bangsa-bangsa lain dalam dasar sama
derajat, anti kolonialisme dan imperialisme.
4. Hak asasi manusia dalam sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
Kerakyatan berisi pengakuan akan
harkat dan martabat manusia yang berarti pula menghormati dan menjunjung tinggi
segala hak asasi yang melekat padanya. Hak asasi dalam sila kerakyatan berwujud
seperti “Hak mengeluarkan pendapat, hak berkumpul dan berapat, hak ikut serta dalam
pemerintahan dan jabatan-jabatan Negara, memerdekakan pers dan sebagainya.”
Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menegaskan
bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”.
Masalah pelaksanaan kedaulatan
rakyat tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan adanya hak asasi manusia.
Demokrasi pancasila dengan musyawarah dan mufakatnya memberikan nilai tinggi
terhadap HAM.
5.
Hak
asasi manusia dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan sosial berwujud hendak
melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat, ini berarti: “bahwa
setiap orang dapat menikmati kehidupan yang layak sebagai manusia yang
terhormat, setiap orang berhak mendapat nafkah dan aminan hidup yang layak
dalam lapangan ekonomi dan sosial dengan saling harga-menghargai dan
bantu-membantu”. Keadilan sosial adalah hak asasi manusia seperti hak hidup,
hak milik, hak atas pekerjaan, dan sistem pengupahan yang baik dan adil.
E.
HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945
Dalam perubahan kedua UUD 1945 yang
ditetapkan oleh MPR, tanggal 18 Agustus 2000, pasal tentang HAM ditulis dalam
bab tersendiri, yaitu bab XA pasal 28 yang terdiri dari 10 pasal. Dengan adanya
bab khusus tentang HAM ini, berarti memantapkan keinginan kita untuk menjunjung
HAM di Negara tercinta ini. Berikut ini adalah isi dari bab XA tersebut:
Ø Pasal 28A
untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan.
Ø Pasal 28B
membentuk keluarga dan melanjitkan keturunan, hak anak atas kelangsungan hidup
, tumbuh dan, berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Ø Pasal 28C
mengembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari IPTEK, seni
dan budaya memajukan diri secara kolektif.
Ø Pasal 28D
pengakuan yang sama dihadapan umum, hak untuk bekerja dan kesempatan yang sama
dalam pemerintahan, berhak atas status kewarganegaraan
Ø Pasal 28E
kebebasan memeluk agama, meyakini kepercayaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal, kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Ø Pasal 28F
berkomunikasi, memperoleh, mencari, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi.
Ø Pasal 28G
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan
rasa aman serta untuk bebas dari penyiksaan.
Ø Pasal 28H
hidup sejahtera lahir dan batin, memperoleh pelayanan kesehatan, mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat guna
mencapai persamaan dan keadilan.
Ø Pasal 28I
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
Ø Pasal 28J
berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain srta tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan UU.
F.
ASAS, UNSUR, DAN STATUS KEWARGANEGARAAN
Seseorang
yang diakui sebagai warga ngara dalam suatu Negara haruslah ditentukan
peraturan perundangan dari Negara tsb. Peraturan perundangan inilah yang
kemudian dijadikan asas untuk penentuan status kewarganegaraan seseorang. Dalam
menetapkan asas tentang kewarganegaraan, setiap Negara memiliki budaya, sejarah
dan tradisi masing-masing. Dalam kenyataannya dikenal ada 2 asas
kewarganegaraan :
1. Berdasarkan
kelahiran, yaitu :
a. Asas ius soli
(tempat kelahiran)
Asas ini mentapkam seseorang yang
dilahirkan di Negara tsb maka ia mendapat hak sebagai warga Negara.
b. Asas ius sanguinis
(keturunan)
Asas ini menetapkan seseorang
mendapat kewarganegaraan suatu Negara aabila orang tuanya adalah warga Negara
dari Negara tsb.
2. Berdasarkan
perkawinan, yaitu :
a.
Asas
kesatuan hukum
Mendasarkan pada paradigma bahwa
suami-istri maupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang membutuhkan
kesejahteraan, kebahagiaan, dan keutuhan dalam keluarga oleh karenanya keluarga
diharapkan tunduk pada hukum yang sama shingga keluarga akan tetap utuh.
b.
Asas
persamaan derajat
Mendasarkan pada paradigma bahwa
suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan
masing-masing pihak. Oleh karena itu, suami ataupun istri dapat memilki
kewarganegaraan asal.
Disamping dikenal dua asas
kewarganegaraan, sesorang juga dapat memperoleh kewarganegaraan dengan jalan
pewarganegaraan (naturalisasi), yang dikenal dengan dua cara (sistem):
a. Sistem
aktif: seseorang dapat menggunakan
hak opsi yaitu memilih atau mengajukan
permohonan menjadi warga negara dari suatu
Negara.
b. Sistem
pasif: seseorang dapat menolak
pemberian kewarganegaraan (hak repudiasi).
Selain itu, terdapat juga tiga
status kewarganegaraan yang ada hakekatnya disebabkan persoalan pribadi, lokasi
dan kepentingan, yaitu:
1. Apatride:
orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan.
2. Bipatride:
orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap.
3. Multipatride:
orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan lebih dari dua
kewarganegaraan.
G.
SIAPAKAH WARGA NEGARA ITU?
Warga Negara memiliki pengertian,
di antaranya:
·
Peserta, anggota, atau warga dari suatu
Negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan
bersama atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama. (Dede
Rosyada, 2003)
·
Anggota dari sebuah komunitas yang
membentuk Negara itu sendiri. (A.S. Hikam)
·
Bangsa Indonesia asli dan bangsa lain
yang disahkan undang-undang sebagai warga Negara. (Pasal 26 ayat (1) UUD 1945)
Pada pasal 26 tersebut
dijelaskan siapa saja yang termasuk warga Negara Republik Indonesia, yaitu
orang-orrang bangsa Indonesia dan orang-orang bangsa lain, misalnya peranakan
Belanda, Tionghoa, Arab yang bertempat tinggal di Indonesia. Syarat-syarat
menjadi warga Negara juga ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 26 ayat (2) UUD
1945).
H.
PENGERTIAN HAK DAN WAJIB
Sebelum
pembahasan mengenai hak dan kewajiban warga Negara, perlu diketahui apa yang
dimaksud hak dan wajib itu sendiri, yaitu:
·
Hak adalah kuasa untuk menerima atau
melakukan sesuatu yang semestinya ditterima atau dilakukan oleh pihak tertentu
dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya
dapat dituntut secara paksa olehnya.
·
Wajib adalah beban untuk memberikan atau
membiarkan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu
dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya
dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan.
Hak
merupakan kodrat manusia yang diberikan Tuhan sehingga siapapun tidak boleh
mengganggunya dan hak trsebut dilindungi Negara. Walau demikian, batas-batasnya
harus tetap ada dan pembatasan ini harus ditetapkan Negara sesuai dengan
pandangan hidup, tingkat kemajuan kebudayaan, dan dasar Negara yang
bersangkutan.
I.
HAK WARGA NEGARA
Setiap
Negara umumnya mencantumkan pasal hak dan kewajiban warga Negara dalam
Undang-Undang dan peraturan hukum lainnya sebagai syarat objektif dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara.
Dalam
batang tubuh UUD 1945, hak-hak warga Negara diatur dalam beberapa pasal. Sesuai
dengan sifat UUD yang singkat, luwes, dan fleksibel, apsal-pasalnya juga hanya
yang pokok-pokok saja. Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur hak-hak warga
Negara adalah sebagai berikut:
1. Pasal
27 Ayat 1
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya itu
dengan tidak ada kecualinya.”
2. Pasal
27 Ayat 2
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
3. Pasal
28
“Kemerdekaan bersekrikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.”
4. Pasal
29 Ayat 2
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.”
5. Pasal
30 Ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
6. Pasal
31 Ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan.”
7. Pasal
33
“Tiap-tiap warga negara berhak ikut dalam kegiatan
perekonomian yag diusahakan bersama-sama.”
8. Pasal
34
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara.”
Di dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang HAM, sebagian isinya mengenai hak-hak warga Negara,
diantaranya:
1. Hak
untuk hidup
Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2. Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
3. Hak
mengembangkan diri
Setiap orang berhak atas
perlindungan dan kasih saying untuk pengembangan pribadinya, memperoleh, dan
mengemmbangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
4. Hak
keadilan
Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil.
5. Hak
kemerdekaan
Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Setiap orang berhak atas kebebasan
menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.
Setiap orang berhak atas
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
6. Hak
atas kebebasan informasi
Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh infirmasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya.
Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan infirmasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
7. Hak
keamanan
Setiap orang berhak atas rasa aman
dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.
Setiap orang berhak mencari suaka
untuk mendapat perlindungan politik dari Negara lain.
Setiap orang berhak ikut serta
dalam upaya pembelaan Negara.
8. Hak
kesejahteraan
Setiap orang berhak hidup sejaktera
lahir dan batin.
Setiap orang berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Warga
Negara memiliki hak sekaligus kewajiban yang harus dipenuhi kepada Negara. Dari
30 pasal UU HAM, hanya satu ayat yang memuat tentang kewajiban individu, yaitu
pasal 29 ayat (1). Dalam konstitusi termuat dalam pasal 28J. dalam UU Nomor 39
Tahun 1999 Tentang HAM, dari 106 pasal yang ada, pegnaturan mengenai kewajiban
dasar hanya empat pasal, sedangkan yang mengatur hak dan kebebasan dasar
terdiri dari 58 pasal, sisanya mengatur mengenai Komnas HAM dan ketentuan lain.
Tidak berbeda dengan konstitusi, kewajiban dasar itu intinya menyebutkan, tiap
orang wajib menghormati hak asasi orang lain, patuh pada peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai HAM
serta wajib ikut serta membela Negara.
Lalu
bagaimana dengan Negara kita? Apakah kita wajib menghormati hukum? Apabila
hukum tidak adil dan pengaturannya melanggar HAM warga Negara, apakah hukum itu
wajib dihormati? Jika pengadilan tidak berlaku adil dan korup, apakah layak
dibiarkan? Jika kewajiban warga Negara adalah membayar pajak, apakah kewajiban
itu harus dijalankan jika sector-sektor publik seperti kesehatan dan pendidikan
dilupakan Negara, jika pajak ternyata habis dikorupsi, digunakan untuk membayar
uang swasta atau pajak hanya untuk membayar pegawai negeri yan berperilaku
buruk atau jika APBN ditetapkan dengan melupakan sector-sektor yang seharusnya
dialokasikan secara layak?
J.
KEWAJIBAN NEGARA DALAM HAM
Kewajiban
Negara dalam HAM biasanya dilihat dari tiga bentuk, yaitu:
1.
Menghormati (To Respect)
2.
Memenuhi (To Fulfill)
3.
Melindungi (To Protect)
Dalam
konteks Indonesia, apakah Negara sudah melaksanakan kewajibannya itu? Jika
masyarakat masih takut menjalankan kebebasan beragama; masih ada penyerbuan
terhadap kelompok tertentu karena beda keyakinan; jika masyarakat takut
berkumpul khawatir dibubarkan aparat; jika ada masyarakat takut keluar rumah
karena jiwanya terancam aksi-aksi kekerasan; jika masih ada wabah penyakit yang
tak tertangani dengan baik; jika masih bannyak fakir miskin telantar; jika
masih ada orang kelaparan; jika masih banyak anak-anak tak sekolah; itu semua
salah satunya disebabkan karena Negara belum melaksanakan kewajibannya dengan
baik.
K.
KEWAJIBAN WARGA NEGARA
1. Setiap
orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Pasal 28J ayat 1 UUD 1945)
2. Di
dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud
semata-semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yanga adil sesuai dengan
pertibangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. (Pasal 28J ayat 2 UUD 1945)
3. Setiap
orang wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 68 UU No.39/1999)
4. Setiap
warga Negara berkewajiban ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan.
(Pasal 30 UUD 1945)
5. Setiap
warga Negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Pasal 27 UUD 1945)
6. Setiap
warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. (Pasal 31 ayat 2 UUD 1945)
7. Setiap
orang yang ada di wilayah Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan
perundang-undangan, hukum tertulis dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
L.
PELAKSANAAN HAM DI INDONESIA
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di
Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar
kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem
dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara sebagai
pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya. Demikian disampaikan Wakil
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman da-lam
diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP) di Wisma
Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).
Dalam diskusi itu diperbincangkan
masalah hak asasi, politik dan demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas
HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak
menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi
historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan
rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti
tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari falsafah kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana
sebenarnya posisi pemerintah untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut
mantan anggota F-KP DPR itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi
selalu dihubungkan dengan masalah HAM. “Makanya mereka mau berisiko demi HAM
ini. HAM sudah menyatu,” katanya.
Sedangkan di Indonesia, HAM baru
merupakan satu kebijakan belum merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari
kehidupan berbangsa. Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor
integrasi atau pemersatu bangsa. Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di
Indonesia dengan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun
lalu.
Lingkungan hidup yang saat itu masih menjadi
isu internasional sekarang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat
dan pemerintah. “Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,”
katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan nasional namun
sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. “Hal seperti itulah yang
saat ini sedang ditempuh oleh HAM,” katanya.
Secara
ideal Negara tidak dibenarkan mencampuri HAM setiap Negara, apalagi menundasnya
atau menghilangkannya. Oleh karenanya sejalan dengan amanat konstitusi,
pelaksanaan HAM di Indonesia harus didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan, merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan,
maupun dalam pelaksanaannya.
Hal
ini sejalan dengan apa yang tertuang di dalam
pasal 1 (3), pasal 55 dan 56 Piagam PBB, yang isinya bahwa, “Upaya
pemajuan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu kerjasama internasional
yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan, dan hubungan
antar Negara hukum internasional yang berlaku (Hasan Wirajuda, 2005).
Indonesia
adalah Negara multicultural yang menuntut adanya kesepahaman dari seluruh
elemen bangsa. Sehingga, multicultural yang secara alamiah ada dan hadir di
bumio pertiwi ini bisa menjadi pemersatu dan sebagai lahan untuk saling
menghargai. Krisis HAM di Indonesia perlu penyelesaian yang sistemik. Melalui
pendidikan berbasis HAM, akan lebih memudahkan dalam menyiapkan generasi yang
faham tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pemahaman yang mendalam dari siswa
tentang HAM diharapkan akan memperkuat posisi mereka (siswa) untuk
memperjuangkan hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat.
a. Pendidikan HAM di persekolahan
Pendidikan Berbasis HAM
Dalam
penelitiannya, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Pendidikan (UNESCO)
untuk wilayah Asia Pasifik telah melakukan penelitian di Indonesia, dengan
hasil bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta
didik.
Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana rekomendasi dari UNESCO mencanangkan sistem pendidikan berbasis hak asasi manusia untuk semua jenjang pendidikan. Masalah hak asasi manusia akan diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, masalah HAM akan diintegrasikan dalam mata pelajaran agama. Sehingga diterbitkanlah buku pendidikan berbasis hak asasi manusia oleh Departemen Pendidikan Nasional (KOMPAS 13/1/2006). Hal ini sungguh suatu langkah maju dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Namun buku tersebut hanya sebagai simbol slogan bahwa pendidikan nasional menggunakan pendekatan hak azasi manusia sebagai mana yang diamanatkan oleh UNESCO tersebut.
Keberadaan Badan Standar Nasional Pendidikan hanya mampu bekerja dan bertugas untuk mengevaluasi pendidikan pada tataran kognitif belaka. Aspek psikomotorik dan afektif sering kali diabaikan. Kemajuan pendidikan hanya diukur dari kemampuan akademis siswa saja dengan mengabaikan aspek lainnya. Walaupun dalam regulasi sudah diatur sedemikian rupa, tetapi dalam implementasinya tetap saja aspek kognitif yang dihandalkan. Dari sekian banyak Kepala Sekolah, hanya salah seorang Kepala Sekolah di Yogyakarta saja yang memberanikan diri untuk melakukan penilaian secara universal terhadap peserta didiknya. Sehingga peserta yang tadinya lulus Ujian Nasional dan mendapat peringkat ketiga tertinggi untuk mata pelajaran yang di-UN-kan tetapi tidak lulus dari segi afektinya. Akhirnya pihak sekolah menyatakan tidak lulus pada peserta didik tersebut. Ini langkah baik yang dilakukan sekolah untuk menilai secara komprehensif. Tetapi, sayangnya hal ini hanya dilakukan oleh satu sekolah saja dari sejumlah sekolah yang ada di Indonesia.
Penilaian yang dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan tersebut secara logika dapat dipahami juga melanggar HAM. Betapa tidak! Penilaian dengan memberikan soal secara sama dan merata dengan tidak memperhatikan kemampuan peserta didik di setiap daerah dan mengabaikan perkembangan pendidikan suatu daerah atau dengan kata lain menyamaratakan potensi pendidikan secara nasional. Jelas hal ini melanggar HAM. Indonesia yang luas dan beragam potensi ini dijadikan uniform oleh pemerintah dalam mengevaluasinya.
Selain itu, yang harus kita cermati bersama adalah urgensinya penilaian yang dilakukan oleh pemerintah tersebut. Kita telah mafhum bahwa Ujian Nasional dilakukan hanya semata-mata untuk memetakan kondisi pendidikan secara nasional oleh pemerintah, yang mana hasil pemetaan tersebut akan dijadikan input dalam proses agenda setting pemerintah untuk memajukan kembali pendidikan di negara ini. Hal yang disayangkan adalah program evaluasi yang akan dijadikan input kembali itu hanya sekadar saja, perbaikan sistem dan pembenahan pendidikan di daerah tertinggal juga tak kunjung dilaksanakan. Mekanisme pengambilan keputusan untuk membangun pendidikan masih tetap memakai gaya lama: acak dan tender serta kolusi. Selain itu, korban dari kebijakan tersebut adalah pelajar (sebagai objek Ujian Nasional). Sekali lagi hal ini juga melanggar HAM dalam proses pendidikan kita.
Pendidikan kita pada kenyataannya masih menampilkan sistem yang tidak manusiawi, dengan kecenderungan dehumanisasi. Kebijakan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang di sinyalir melanggar HAM seharusnya tidak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya memperlakukan siswa didik sebagai manusia. Sehingga tujuan utama pendidikan untuk menciptakan manusia yang bukan hanya unggul dalam bidang kognitif tetapi juga harus bisa menjadikan siswa didik unggul secara afektif maupun psikomotorik. Karena pendidikan (education) adalah proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah, atau dalam arti luas adalah proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Britannica, 2003).
Untuk itu, pendidikan berbasis HAM ini sudah selayaknya dikemukakan kembali dan benar-benar direalisasikan oleh pemerintah, tidak hanya sekadar lips service dalam retorika kebijakan. Multitafsirnya pendidikan berbasis HAM ini juga harus dijelaskan. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan pendidikan berbasis HAM tersebut dan apa orientasi serta harapannya.
Keperluan penjelasan tentang arti, fungsi, peran, posisi dan isi pendidikan berbasis HAM relevan dengan perkembangan nasional dewasa ini yang sedang berusaha membangun kepercayaan publik tentang penegakan HAM di Indonesia dan pendidikan yang sistemnya bertentangan penegakan HAM tersebut. Kebijakan otonomi pendidikan pada dasarnya merupakan pencerahan dan pemberdayaan pendidikan agar lebih bermakna. Kini lembaga pendidikan dituntut mampu mengembangkan kepribadian peserta didik secara optimal, selain berusaha untuk meningkatkan kemampuan akademis. Tetapi aksi untuk pencapaian hal itu tidak direalisasikan oleh pemangku kebijakan atau pemerintah yang dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.
Sebagai langkah awal demi suksesnya keberlangsungan dan peningkatan kualitas pengetahuan guru dalam bidang HAM, maka sosialisasi terhadap sistem pendidikan berbasis HAM ini perlu disosialisasikan ke seluruh perangkat-perangkat pendidikan sehingga tujuan agar tegaknya nilai-nilai HAM bisa benar-benar terwujud dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan, diyakini sebagai instrumen yang sangat strategis dalam penyebaran nilai-nilai HAM ini. Karenanya, dunia pendidikan kita diharapkan dapat membantu proses pembelajaran HAM di tingkat pelajar yang nantinya akan memperkuat pemahaman para siswa didik kita untuk lebih memahami pentingnya nilai-nilai HAM dan sistemnya juga mendukung yang tidak melanggar HAM.
Pilihan pada pendidikan berbasis HAM mengacu pada pedagogik kritis dan transformatif. Pedagogik kritis melihat masyarakat, pendidikan, persekolahan, merupakan arena-arena dimana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Kendati tidak bersifat netral dalam kontestasi tersebut, namun pedagogik kritis mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Dalam kaitan ini, pedagogik kritis adalah pedagogik transformatif yang bertujuan untuk mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan (Tilaar, 2005).
Maka, mengacu pada pedagogik kritis, sasaran dari pendidikan berbasis HAM adalah pada transformasi sosial baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi di sini mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), perspektif (perspective) dan kesadaran diri (self awareness).
Kemudian, dalam suatu pendidikan berbasis HAM, nilai dan prinsip dasar yang mendasarinya antara lain: persamaan (equality), keadilan (justice), kemerdekaan (freedom), martabat manusia (dignity), universalitas (universality), tak dapat dikecualikan (inalienability), tak dapat dipisahkan (indivisibility), dan tidak diskriminatif (non-discriminative).
Tentu saja, dalam implementasinya pendidikan berbasis HAM ini harus melandaskan diri pada penguatan nilai-nilai HAM secara universal. Potensi yang dimiliki masyarakat Indonesia dengan ragam budaya yang dimiliki bisa dijadikan sebagai fondasi untuk penguatan wilayah tersebut. Harapannya adalah pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik akan tertanam tanggung jawabnya untuk senantiasa menjadi pelopor dalam menegakkan HAM. Sehingga cita-cita dan tudingan UNESCO yang empiris terhadap bangsa ini bisa terbantahkan kembali.
.
Sosialisasi pendidikan berbasis HAM ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengadakan pelatihan kepada siswa dan atau guru sebagai pendidik untuk melakukan proses transformasi nilai-nilai HAM. Transformasi yang dilakukan tersebut diharapkan akan menular kepada yang lainnya dengan berbagai cara diantaranya adanya pola tingkah laku yang akan menjadi tauladan atau figur empiris HAM atau transfer keilmuan dari hasil pelatihan tersebut. Selain itu, proses belajar yang menyenangkan sebagai salah satu energi yang dihasilkan dari HAM dapat dinikmati dengan membebaskan diri para pelajar dari ketertindasan dan tekanan pemerintah dalam proses belajar-mengajar. UN adalah salah satu bentuk tekanan pemerintah terhadap pelajar dalam proses belajar tersebut. UN menggambarkan pelanggaran HAM yang nyata oleh pemerintah karena menimbulkan proses belajar yang tidak menyenangkan bagi pelajar. Penolakan UN yang dilakukan selama ini dapat menjelaskan bahwa masyarakat berkeinginan keras menegakkan nilai-nilai HAM dalam satuan pendidikan di Indonesia.
Sosialisasi pendidikan berbasis HAM ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengadakan pelatihan kepada siswa dan atau guru sebagai pendidik untuk melakukan proses transformasi nilai-nilai HAM. Transformasi yang dilakukan tersebut diharapkan akan menular kepada yang lainnya dengan berbagai cara diantaranya adanya pola tingkah laku yang akan menjadi tauladan atau figur empiris HAM atau transfer keilmuan dari hasil pelatihan tersebut. Selain itu, proses belajar yang menyenangkan sebagai salah satu energi yang dihasilkan dari HAM dapat dinikmati dengan membebaskan diri para pelajar dari ketertindasan dan tekanan pemerintah dalam proses belajar-mengajar. UN adalah salah satu bentuk tekanan pemerintah terhadap pelajar dalam proses belajar tersebut. UN menggambarkan pelanggaran HAM yang nyata oleh pemerintah karena menimbulkan proses belajar yang tidak menyenangkan bagi pelajar. Penolakan UN yang dilakukan selama ini dapat menjelaskan bahwa masyarakat berkeinginan keras menegakkan nilai-nilai HAM dalam satuan pendidikan di Indonesia.
Organisasi
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk bidang pendidikan (UNESCO) wilayah Asia
Pasifik telah melakukan penelitian di Negara-negara Asia termasuk Indonesia,
bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik.
Hasil penelitian tersebut tentunya bisa dijadikan referensi bagi para ahli
pendidikan di Indonesia untuk terus mengampanyekan akan pentingnya pendidikan
HAM di sekolah-sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan Indonesia.
Depertemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan rekomendasi dari UNESCO mencanangkan sistem
pendidikan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua jenjang Pendidikan.
Masalah hak asasi manusia kemudian akan diimplementasikan dalam kurikulum
pendidikan. Untuk pendidikan dasar menengah, masalah HAM akan di integrasikan
dalam mata pelajaran agama dan PKN (Asep Bunyamin : 2004)
Pentingnya
pendidikan berbasis HAM ini tentu mesti ada dukungan dari semua pihak terutama
para pelaku pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Guru yang
merupakan penopang dunia pendidikan paling depan, harus melibatkan diri secara
aktif peranannya dalam sosialisasi di berlakukannya kurikulum berbasis HAM ini.
Oleh sebab itu peranan guru, tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja,
akan tetapi juga mengajarkan betapa pentingnya penegakan nilai-nilai Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Pendidikan
diyakini sebagai kekuatan yang bisa membangun peradaban bangsa. Munculnya
gagasan mengenai pendidikan berbasis HAM harus di sambut dengan gembira. Sebab,
pendidikan merupakan sarana paling efektif untuk menegakkan prinsip-prinsip
HAM. Kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta
didik merupakan kritik untuk terus meningkatkan peranannya dalam melindungi
HAM. Pendidikan kita pada kenyataannya masih menampilkan sistem yang tidak
manusiawi, dengan kecenderungan de
humanisasi. Kebijakan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang di
sinyalir melanggar HAM seharusnya tidak perlu terjadi. Pendidikan seharunya
memperlakukan peserta didik sebagai manusia. Sehingga tujuan utama pendidikan
untuk menciptakan manusia bukan hanya unggul dalam bidang kognitif tetapi juga
harus bisa menjadikan siswa peserta didik unggul secara afektif dan
psikomotorik.
Tentu
saja dalam implementasinya pendiddikan berbasis HAM ini harus melandaskan diri
pada penguatan nilai-nilai HAM secara universal. Potensi yang dimiliki
masyarakat Indonesia dengan ragam budaya yang dimiliki bisa dijadikan sebagai
fondasi untuk penguatan wilayah tersebut.
Di
tengah semakin maraknya pelanggaran HAM, pendidikan berbasis HAM di pandang
perlu untuk di implementasikan dalam seluruh jenjang pendidikan. Dengan ini,
diharapkan siswa didik – dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya – menjadi
lebih tahu akan tanggung jawabnya serta peranannya sebagai manusia senantiasa
menjadi pelopor bagi penegakkan HAM.
b. Model Pembelajaran HAM oleh Guru
Dalam
kegiatan belajar mengajar, sebaiknya guru dapat menerapkan tentang conten HAM,
misalnya dalam pokok bahasan mendapat perlakuan adil. Untuk menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran ini, guru dapat mengguanakan pendekatan inkuiri yang
sederhana, yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa.
Adapun
model langkah-langkah pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh guru auntuk
mengadakan inkuiri dalam proses pembelajaran HAM, sebagai berikut :
Pertama,
merumuskan tujuan.
Kedua,
menyajikan
kata-kata yang perlu dipelajari
Ketiga,
menyajikan ide-ide yang perlu dipelajari.
Keempat,
menerapkan kemampuan yang telah dikuasai.
Model
pembelajaran lainnya, disebut proses inkuiri menurut Welton & Mallan (1988)
memiliki langkah-lagkah sebagai berikut
•
Pertama, menyadari adanya peristiwa yang
kontroversial yang selanjutanya menjadi masalah yang harus dipecahkan.
•
Kedua, mengidentifikasi hipotesis
(berupa penjelasan)
•
Ketiga, menguji hipotesis sesuai data
dan informasi yang diperoleh sebagai berikut :
ü Apabila
hipotesis ditolak maka masalah dapat dirumuskan kembali dan inkuiri kembali
pada langkah kedua
ü Apabila
hipotesis diterima maka inkuiri dapat melanjutkan pada langkah keempat.
•
Keempat, memodifikasi hipotesis menjadi
kesimpulan sementara sampai data secara lengkap terkumpul
•
Kelima, menguji kesimpulan sementara
c. Program Penegakan hukum dan HAM di
Indonesia
Program
penegakkan hukum dan HAM, yang tercantum dalam PP Nomor 7 tahun 2005, meliputi
pemberantasan korupsi, anti terorisme, pembasmian penyalahgunaan narkotika dan
obat berbahaya, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia harus dilakukan
secara tegas, tidak diskriminatif, dan konsisten. Oleh karenanya
kegiatan-kegiatan pokok yang terus menerus diupayakan pelaksanaannya meliputi :
·
Penguatan upaya-upaya pemberantasan
korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi
2004-2009; Penguatan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi MANUSIA
2004-2009; Rencana Aksi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; Rencana
Aksi Nasional Pengahpusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; dan
Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015;
·
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (RAN HAM) 2004-2009 sebagai gerakan nasional;
·
Oeningkatan penegakkan hukum terhadap
pemberantasan tindak pidana terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat
berbahaya lainnya;
·
Peningkatan efektivitas penguatan
lembaga/instuso maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan
memberantas korupsi;
·
Peningkatan efektivitas penguatan
lembaga/instuso maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi
manusia;
·
Peningkatan upaya-upaya penghormatan
persamaan terhadap setiap warga Negara didepan hukum, melalui keteladanan
Kepala Negara dan pimpinan lainnya untuk mematuhi dan mentaati hukum dan hak
asasi manusia secara konsisten dan konsekuen;
·
Penyelenggaraan audit regular atas
kekayaan seluruh pejabat pemerintah dan pejabat Negara;
·
Peningkatan koordinasi dan kerjasama
yang menjamin efektivitas penegakkan hukum dan hak asasi manusia;
·
Pembaruan materi hukum yang terkait
dengan pemberantasan korupsi.
d. Pencapaian Indonesia dalam pemajuan
dan Perlindungan HAM
Adapun
pencapaian Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM, menurut Hasan
Wirajuda dapat diikuti dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia, sejak 1991 sampai dengan 2004, yaitu sebagai berikut :
·
Merintis reorientasi kebijakan nasional
dibidang HAM pada masa Orde Baru.
·
Dasar hukum pembentukan KOMNAS HAM
dibentuk lagi dengan Undang-Undang NO.39 Tahun 1999 tentang HAM. KOMNAS HAM
dibentuk sesuai dengan “Paris Principle
1992” yang menegaskan bahwa pembentukkan suatu Komisi Nasional HAM harus
memperhatia\kan serta sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat tanpa
paksaan pihak luar.
·
RAN-HAM 1998-2003, yang kemudian
dicanangkan secara resmi oleh Presiden Habibie pada tanggal 25 Juni 1998
(ditetapkan melalui Keppres No.129 tahun 1998 dan direvisi dengan Keppres
No.61/2003) meliputi empat program kegiatan, yakni :
o
Ratifikasi perangkat internasional HAM;
o
Diseminasi dan pendidikan HAM;
o
Pelaksanaan penganganan masalah
prioritas dalam bidang HAM;
o
Pelaksanaan isi dan ketentuan berbagai
perangkar internasional HAM yang telah diratifikasi Indonesia.
·
Disamping mengikatkan diri pada berbagai
instrument pokok HAM internasional, Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan
Undang-undang yang melindungi isu tematis HAM lainnya seperti Undang-Undang
No.26 tahun 2002 tentang perlindungan Anak dan Undang-undang No.20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional.
·
Hingga saat ini Indonesia telah
meratifikasi 4 dari 7 instrumen pokok HAM internasional, yaitu :
o
Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan atau convetion on the
Elimination of all form of Discrimination against Women (CEDAW) melalui UU
No. 7/1984;
o
Konvensi Hak Anak atau Convention on the Right of the Child (CRC)
melalui Keppres. No.36/1990;
o
Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia atau Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT)
melalui UU No.5/1988; dan
o
Konvensi Penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial atau Convetion
Elimination of all Forms of Racial Discrimination (CERD) melalui UU No.
29/1999.
e. Kerjasama Internasional dalam
Bidang HAM
Kerjasama
internasional baik secara bilateral, regional dan multilateral dalam kemajuan
dan perlindungan HAM, terlihat dari berbagai kegiatan (Wesaka Puja, 2005);
• Kerjasama
bilateral yang telah dilaksanakan antara lain adalah dialog Indonesia-Norwegia
mengenai HAM yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 4-5 Mei 2004,
• Indonesia
telah berperan aktif dalam upaya kemajuan HAM di kawasan Asia tenggara,
• Peningkatan
kerjasama antara Komnas HAM Indonesia, Thiland, dan Filipina dalam memberikan
konstribusi dalam mewujudkan ASEAN security community dan mekanisme HAM ASEAN,
• Dalam
kancah internasional, dalam bidang kemajuan dan perlindungan HAM, kiprah Indonesia
semakin meningkat dan semakin diakui oleh masyarakat internasional,
• Dalam
sidang PBB mengenai HAM, posisi dasar pemerintah Indonesia adalah menolak
segala resolusi yang ditujukan negara tertentu.
f. Permasalahan di Indonesia dalam
Penegakan Hukum dan HAM
Berbagai
permasalahn yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam rangka penegakan,
penghormatan serta penegakan Hukum dan HAM, masih dirasakan belum optimal
pelaksanaannya. Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja lembaga
peradilan, serta belum selesainya kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian
rakyat. Ini su\emua mengakibatkan semakin berkurang tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam melakukan upaya pemberantasan
korupsi.
Keadaaan
ini juga bertambah parah dengan belum membaiknya kondisi kehidupan wkonomi
bangsa sebagai dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menyebabkan
sebagian besar rakyat dapat menikmati hak-hak dasarnya, contohnya dalam bidang
ekonomi, seperti belum terpenuhinya hak atas pekerjaan yang layak, hak atas
upah yang adil sesuai dengan prestasi dan yang daoat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarga mereka. Dan yang paling penting adalah belum dinikmatinya
angora masyarakat atas pemenuhan hak mendapatkan Pendidikan, khususnya yang
lemah kondisi ekonominya.
Kemudian
adanya aksi terorisme yang ditujuan kepada sarana public, menyebabkan rasa
tidak aman bagi masyarakat. Dan aksi terorisme ini, sepertinya makin meluas.
Bukan saja terjadi di daerah-daerah konflik, namun di sarana umum. Keadiaan ini
ditambah lagi dengan adanya pengaruh globalisasi, selain kejahatan terorisme,
arus globalisasi ini dapat menambah intensitas hubungan masyarakat antara satu
Negara dengan Negara lain menjadi semakin tinggi, dengan demikian kecenderungan
munculnya kejahatan yang sifatnya trans nasional menjadi semakin sering
terjadi, misalnya kejahatan narkotika, pencucian uang (money laundry), serta
peredaran dokumen keimigrasian palsu.
SIMPULAN
Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kerhormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak dan kewajiban warga Negara yang
diatur oleh UUD 1945 hendaknya seimbang dalam pelaksanaannya agar tercipta
implementasi Hak Asasi Manusia yang baik dan benar.
Tidak sedikit pelaksanaan HAM di
Indonesia yang tidak baik. Krisis HAM di Indonesia perlu solusi yang
sistematik, di antaranya: pendidikan HAM di sekolah, model pembelajaran HAM
oleh guru, program-program dan berbagai badan atau lembaga penegak HAM,
kerjasama dalam bidang HAM, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen PKn UPI.
2008. Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung: CV Maulana Media Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan komentar ^_^